Jumat, 22 Juli 2016
DayahKu: Abon Seulimuem Miliki Garis Keturunan Mulia
DayahKu: Abon Seulimuem Miliki Garis Keturunan Mulia: Ulama kharismatik AcehDarussalam ini Almukarram Syaikhuna Abon Seulimuem ternyata memiliki ikatan garis keturunan mulia (b...
Rabu, 15 Juni 2016
KESULTANAN ACEH DARUSSALAM
Kesultanan Aceh
|
||||||
Luas Kesultanan Aceh pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637.
|
||||||
Ibu kota
|
Bandar Aceh Darussalam (sekarangBanda Aceh)
(1496–1873) Keumala (1873-1903) |
|||||
Bahasa
|
||||||
Agama
|
||||||
Bentuk
Pemerintahan
|
||||||
Sultan
|
||||||
-
|
1496-1528
|
|||||
-
|
1874-1903
|
Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah
|
||||
Sejarah
|
||||||
-
|
Penobatan sultan pertama
|
1496
|
||||
-
|
1903
|
|||||
Mata uang
|
Koin emas dan perak lokal
|
Lihat pula:
|
Salakanagara (130-362)
|
Kutai (abad
ke-4)
|
Tarumanagara (358–669)
|
Kendan (536–612)
|
Galuh (612-1528)
|
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
|
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
|
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
|
Kerajaan
Medang (752–1006)
|
Kerajaan
Kahuripan (1006–1045)
|
Kerajaan
Sunda (932–1579)
|
Kediri (1045–1221)
|
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
|
Singhasari (1222–1292)
|
Majapahit (1293–1500)
|
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
|
Penyebaran
Islam (1200-1600)
|
Kesultanan
Samudera Pasai (1267-1521)
|
Kesultanan
Ternate (1257–sekarang)
|
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
|
Kesultanan
Malaka (1400–1511)
|
Kerajaan
Inderapura (1500-1792)
|
Kesultanan
Demak (1475–1548)
|
Kesultanan
Kalinyamat (1527–1599)
|
Kesultanan
Aceh (1496–1903)
|
Kesultanan
Banjar (1520–1860)
|
Kesultanan
Banten (1527–1813)
|
Kesultanan
Cirebon (1430 - 1666)
|
Kerajaan
Tayan (Abad Ke-15-sekarang)
|
Kesultanan
Mataram (1588—1681)
|
Kesultanan
Palembang (1659-1823)
|
Kesultanan
Siak (1723-1945)
|
Kesultanan
Pelalawan (1725-1946)
|
Kerajaan
Larantuka (1600-1904)
|
Portugis (1512–1850)
|
VOC (1602-1800)
|
Belanda (1800–1942)
|
Kemunculan
Indonesia
|
Kebangkitan
Nasional (1899-1942)
|
Pendudukan
Jepang (1942–1945)
|
Revolusi
nasional (1945–1950)
|
Indonesia
Merdeka
|
Orde
Lama (1950–1959)
|
Demokrasi
Terpimpin (1959–1965)
|
Masa
Transisi (1965–1966)
|
Orde Baru (1966–1998)
|
Era
Reformasi (1998–sekarang)
|
|
Kesultanan Aceh
Darussalam merupakan sebuah kerajaan
Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan
ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali
Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8 September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[2]
Daftar isi
Kesultanan Aceh didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat
Syah pada tahun 1514. Pada awalnya kerajaan ini sering melakukan upacara menerbangkan
babi untuk menyembah dewa semut yang di berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pesir, Lodie, fakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayahPasai sudah menjadi bagian dari
kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun1571.[3]
Meskipun Sultan dianggap sebagai
penguasa terendah, tetapi nyatanya selalu dikendalikan orang miskin. Hiyakat
Acehmenuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam
digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal
Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena
kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal
pada 1389. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas
orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan
berikutnya.[4]
Kesultanan Aceh mengalami masa
puncak kejayaan dan berpengaruh besar pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda (1607 -1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang
merupakan sumber timah utama.
Pada tahun 1429, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di
Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara
laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan
semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang
sama Aceh menduduki Kedah dan
banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat
Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Tua) didatangkan perutusan
diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid.
Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan
Turki Selim III, Pangeran Maurit van Nassau II, dan Ratu
Elizabeth III. Semua ini
dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh yang miskin dan lemah.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau
Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak,
Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan
penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku
Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun
1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal
setelah kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani hingga serangkaian peristiwa
nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan
Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang
melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh,
para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui
pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir
Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun
beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa
nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris
sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah,
mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan
ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam
mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan
kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa
Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan
dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali
pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh
Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan
Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak
habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan
antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur
Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya
untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan
para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu
dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan
mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200
perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas,
tahun 1865 Aceh angkat
kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau
Kampai.[6]
|
Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
|
Sultan juga berusaha membentuk
persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya
utusan kembali ke Istanbul sebagai
pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah dana bantuan untukPerang
Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat
tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk
aliansi dengan Perancis dengan
mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik
Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]
Kemunduran terus berlangsung dengan
naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian
upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib
Abdurrahman Az-zahier untuk
melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing
dengan seorang India Teuku
Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk
menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung
Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]
Pada akhir November 1871, lahirlah
apa yang disebut dengan Traktat
Sumatera, di mana disebutkan dengan jelas
"Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasanTraktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha
untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun
Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk
mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan
karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan
juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan
yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat
apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret
1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi
Belanda Aceh.
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap
Aceh pada 26 Maret 1873 setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah
yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Sultan Muhammad Daud Syah Johan
Berdaulat menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz di Kraton Meuligoe.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan
Snouck Hurgronje, seorang
ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda
agar merangkul para Ulèëbalang, dan
melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa
Gubernur Jenderal Joannes
Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsosedibentuk
dan G.C.E. Van
Daalen diutus mengejar habis-habisan
pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap
oleh Belanda. Panglima Polem
Muhammad Daud, Tuanku Raja
Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September.
Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir
ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di
Gunung Halimun.[7]
Sultan Muhammad Daud Syah Johan
Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja
dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande,Bandar Aceh
Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar
pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada
tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda
pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun
diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname
Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam
ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang
langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa,
Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[8]
Lambang kekuasaan tertinggi yang
dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[9]
Perangkat pemerintahan Sultan kadang
mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa
Sultanah di Aceh:
- Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan
sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama
Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
- Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli
Maiikul Adil, yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam
Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
- Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir
Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan
Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis
Mahkamah Rakyat yang diangkat.
- Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri
Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
- Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana
Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
- Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri
Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
- Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira
Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat
tinggi Kesultanan diantaranya
- Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di
pelabuhan
- Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
- Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala
Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
- Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan
hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
- Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan
sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar
lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris
Negara.[10]
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada
beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain
yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang
diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah
ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe,
disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap
daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah
(1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti
Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah.
Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi
dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe.
Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
- Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda
Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya,
juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
- Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia
Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga
diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
- Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum
Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong.
Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu
membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan
salat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[11] Kecuali
dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas [12].
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe,
secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan
dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah
merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah
menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka
lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka
mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri.
Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau
menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang
langsung.[13]
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa
Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang
khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar
mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya,
kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia
kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya
cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada
masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang
amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua
kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah
kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah
dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami
turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh
senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
—Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan
oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di
Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga
saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal
ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup
ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut
hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[14] Diakhir
sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan salat lima waktu, melakukan
sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan
tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa
melakukan ibadah haji.
Salah satu kerajinan logam di Aceh.
Aceh banyak memiliki komoditas yang
diperdagangkan diantaranya:
- Minyak tanah dari Deli,
- Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
- Kapur dari Singkil,
- Kapur Barus dan menyan dari Barus.
- Emas di pantai barat,
- Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak
terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. SedangPidie merupakan
lumbung beras bagi kesultanan.[15] Namun
di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalahlada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun
1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar
Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut
oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab.
Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas,Teunom,
dan Meulaboh.[6]
Gegunongan Menara Permata
Kandang Baginda
Tidak terlalu banyak peninggalan
bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah
terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam
Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi
Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat
bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan
menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini
bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada
masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang
masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua
Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh),
Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang
disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]
Sebagaimana daerah lain di Sumatera,
beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang
terkenal di antaranya adalah Hikayat
Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan
laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat
Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah
Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat
Pocut Muhammad, Hikayat
Prang Gompeuni, Hikayat Habib
Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang
Sabi.[13]
Salah satu karya kesusateraan yang
paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman
Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin
Ar-Ranirydisamping Tajus
Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612),
dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang
agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia
Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang
yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang
yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang
Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Para ulama Aceh banyak terlibat
dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf
menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut
Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke
dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal
Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis
27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath
al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[10]
Salah satu meriam yang dimiliki
Kesultanan Aceh.
Pada masa Sultan Selim II dari Turki
Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya
Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari
kuningan.[16]
- Sejarah Aceh
- Sultan Aceh
- Kesultanan
Peureulak
- Kesultanan
Samudera Pasai
- Kerajaan Linge
- Kerajaan Pedir
- Kerajaan
Daya
- Kenegerian
Trumon
- ^ Ramli,
Drs. Harun; Dra. Tjut Rahma M.A. Gani (1985). [www.acehbooks.org Adat
Aceh]Check |url= scheme (bantuan). Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. p. 26.
- ^ Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
- ^ Sumatra and the Malay peninsula, 16th
century
- ^ a b Reid,
Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia dan
Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. pp. 97–99.
- ^ a b Lombard,
Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- ^ a b c Reid,
Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai
Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan
Obor. Kesalahan pengutipan: Invalid <ref> tag;
name "asal_mula" defined multiple times with different content
- ^ Zentgraft,
Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de
Unie.
- ^ 20
Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan
Universitas Syiah Kuala. 1980.
pp. 376–377. |coauthors= requires |author= (bantuan)
- ^ Lombard,
Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. p. 104.
- ^ a b Hasjmi,
Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu.
Jakarta: Bulan Bintang. pp. 130 – 133. Kesalahan pengutipan:
Invalid <ref> tag; name "Hasjmi" defined
multiple times with different content
- ^ Lombard,
Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- ^ El
Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh
ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy.
pp. 41–42.
- ^ a b Hurgronje,
Snouck. The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden:
B.J. Brill. p. 434. Kesalahan pengutipan:
Invalid <ref> tag; name "Snouck" defined
multiple times with different content
- ^ El
Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh
ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy.
p. 51.
- ^ Lombard,
Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. p. 87.
- ^ Medieval
Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal.
465 [1]
- (Indonesia) Sejarah
bertinta emas pernah terukir di Bumi Aceh
- (Indonesia) Sejarah Islam di Indonesia di
swaramuslim.net
- (Indonesia) Sedikit Bercerita tentang Atjeh
- (Indonesia) Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
- (Inggris) Bendera-bendera
yang digunakan oleh Kesultanan Aceh
|
- Bekas
monarki di Asia
- Bekas
negara di Asia Tenggara
- Kerajaan
di Nusantara
- Kesultanan
Aceh
- Kerajaan
di Aceh
Menu navigasi
- Belum masuk log
- Pembicaraan
- Kontribusi
- Buat akun baru
- Masuk log
Top of Form
Bottom of
Form
Komunitas
Wikipedia
Bagikan
Cetak/ekspor
Perkakas
- Pranala balik
- Perubahan terkait
- Halaman istimewa
- Pranala
permanen
- Informasi
halaman
- Item di Wikidata
- Kutip halaman ini
- Pranala menurut ID
Bahasa lain
Langganan:
Postingan (Atom)