Selasa, 21 Februari 2017

Ahli Ilmu Falak Dari Aron, Aceh Utara

Biografi Tgk. Isa Mulieng

Teungku Muhammad Isa Mulieng, Aron. (1927-1997 M)




Riwayat Keluarga
        Nama aslinya Muhammad Isa bin teungku Imum Buhan bin Teungku Imum Ibrahim bin Teungku Haji Lemak bin Teungku Haji Penghulu. Menurut berita yang kami terima dari pendahulu kami, salah satunya dari Drs. T. M. Ali Muda (Ahli Falaq dari Medan), beliau mengatakan bahwa Teungku Haji Penghulu berasal dari Gujarat, India. Dia bersama saudara dan temannya merantau ke Aceh untuk berniaga dan berdakwah.
Ibu Teungku Muhammad Isa bernama Teungku Ni Binti Teungku Lebee Muda. Teungku Ni adalah  kakak dari Teungku Hamzah bin Teungku Leubee Muda. Teungku Hamzah ini mengajar ilmu agama di rumahnya sendiri yang nantinya cikal bakal lahirnya Dayah Darul Falah.
Teungku Muhammad Isa diluar Aceh Utara, beliau dikenal dengan Teungku Muhammad Isa Mulieng. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara.

Tempat Kelahirannya
Teungku Muhammad Isa dilahirkan pada tahun 1927 Masehi di Gampong Meunasah Pulo Kayee Adang Keureutoe (nama waktu dulu) dan sekarang berubah namanya menjadi Gampong Pulo Blang Asan, kecamatan Syamtalira Aron kabupaten Aceh Utara Propinsi Aceh.
Pendidikannya
Sejak kecil beliau sudah menjadi yatim, dididik dan tinggal bersama kakaknya Teungku Safuan binti Teungku Imum Buhan dan didukung oleh keluarganya yang lain. Dengan berkat asuhan serta bimbingan ibu dan semua saudaranya yang lain, beliau dapat menamatkan pendidikan umum pada sekolah Belanda di Simpang Dama Kereutoe tahun 1939 M. Sekarang sekolah ini masuk dalam wilayah Kecamatan Tanah Pasir kabupaten Aceh Utara. Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya pada Pendidikan Islam Bustanul Ma’arif Blang Jruen selesai pada tahun 1943 M.
Karena situasi tidak mengizinkan untuk melanjutkan pendidikannya pada waktu itu karena pergolakan melawan penjajahan Belanda dan Jepang, beliau sempat menganggur beberapa tahun. Dalam masa itu dan juga waktu sebelumnya, beliau bersama gurunya dan masyarakat ikut berjihad dan berperang melawan penjajahan Belanda dan Jepang.
Sebelum beliau keluar kabupaten dalam hal menuntut ilmu, Teungku Muhammad Isa sempat nyantri di Pesantren Cot Trueng Bungkaih Kecamatan Muara Batu - Aceh Utara, pimpinannya waktu itu Teungku Abubakar Ali atau sering dipanggil dengan Teungku Cot Kuta (1896-1971). Beliau disana lebih kurang selama lima tahun.
Pada pertengahan tahun 1956 Masehi, beliau masuk ke Pesantren Ulee Titi Aceh Besar, Banda Aceh, yang pimpinannya waktu itu adalah Teungku Ishak, lebih kurang selama setahun. Disini dia menyempatkan diri untuk mempelajari ilmu Falak dan Ilmu Hisab pada Teungku Syeikh Saman dan Teungku Muhammad Shaleh lambaro, disamping beliau menuntut ilmu-ilmu agama lainnya pada Ulama di sana, diantaranya Teungku Haji Hasan Krueng Kale dan Teungku Haji Ishak Pimpinan Pesantren Ulee Titi.
Pada pertengahan tahun tanggal 18 Mei 1957 M, Teungku Muhammad Isa pindah dari Dayah Ulee Titi ke  Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan untuk mendalami ilmu yang telah dimilikinya. Selama tiga tahun di sana, beliau mempelajari ilmu agama pada gurunya, yaitu Pimpinan Dayah Darussalam Teungku Syeikh Haji Muhammad Wali Al-Khalidy dan beberapa guru yang lain, seperti Teungku H. Abdullah Hanafi Birueun (Abu Tanoh Mirah) yang masa itu dipanggil dengan Tgk. Bireuen dan Teungku H. Abdul ’Aziz Shaleh Jeunieb (Abon Samalanga) yang semasa menyantri disana Abon Aziz dikenal dengan Tgk. Jeunieb.
Di Pesantren Labuhan Haji ini al-marhum di gelar dengan Teungku Muhammad Isa al-Falaky. Kemudian pada pertengahan tahun tepatnya tanggal 6 Juni 1960 M, beliau pindah ke Dayah Thaiyibah Islamiyah Matang Geutoe Idi Cut Aceh Timur selama dua tahun. Pada waktu itu, Pimpinannya bernama Teungku Muhammad Thaib (1887-1967). Selanjutnya pada pertengahan tahun 1962 masehi, beliau pulang dari Dayah Thaiyibah Islamiyah Aceh Timur untuk mendirikan Pesantren di Kampung tempat kelahirannya.

Pengalaman Organisasi
Dalam hal berpolitik dan berorganisasi, menyalurkan aspirasinya untuk memajukan agama, negara dan bangsa, beliau bergabung dalam beberapa organisasi. Diantaranya adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), sehingga pada tahun 1962 M. dia dipilih dan diangkat menjadi Ketua organisasi ini ranting kecamatan Syamtalira Aron.
Kira-kira enam tahun sebelum beliau meninggal dunia, ia terpilih dan dilantik oleh Pengurus Perti Wilayah Propinsi Aceh sebagai Ketua Persatuan Tabiyah Islamiyah (Perti) Cabang Kab. Aceh Utara, menggantikan Teungku H. Abdullah Hanafi Tanoh Mirah yang berpulang ke-rahmatullah pada tahun 1989 Masehi.
Dalam periode ini pula, beliau memegang jabatan Ketua Majlis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Cabang Aceh Utara yang sebelumnya adalah hanya sebagai anggota. Selain itu, lebih dari 15 tahun, beliau duduk dalam Anggota Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Aceh Utara, dan pada Majlis Ulama Indonesia Pembantu Bupati Lhoksukon, almarhum sebagai anggota Majlis Dewan Pertimbangan (Anggota Dewan Penasehat).
Selain berkecimpung di beberapa organisasi tersebut, beliau juga termasuk dalam pengurus Pusat Persatuan Dayah Inshafuddin, salah satu organisasi dayah yang ada di Aceh. Oleh karena itu, Dayah Darul Falah yang beliau pimpin adalah satu dayah dari sekian banyak dayah yang bernaung di bawah Persatuan Dayah Inshafuddin dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Periode Demi Periode Dayah Darul Falah
Beberapa bulan setelah Teungku Muhammad Isa pulang dari Pesantren Madrasah Thaiyibah Matang Geutoe Idi Cut-Aceh Timur, bersama masyarakat beliau mendirikan satu unit Balai Pengajian (Tempat Belajar). tempat tersebut digunakannya sebagai Mushalla dan tempat belajar ilmu agama bagi para santri dan masyarakat.
Di periode pertama tepatnya pada malam Rabu tanggal 17 Juli 1962 M atau 16 Shafar 1382 H. Teungku Abubakar Ali atau Teungku Cot Kuta yaitu Guru selama beliau belajar di Cot Trueng Bungkaih Aceh Utara, meresmikan dan menepung tawari Balai yang didirikan Teungku Muhammad Isa sebagai Pesantren atau Dayah tempat mempelajari ilmu agama. Sekaligus beliau memberi nama dengan Pesantren Darul Falah.
Hari demi hari, santri dayah ini terus bertambah, baik dari daerah sekitar dayah maupun dari luar daerah aceh utara. Sehingga Teungku Abbas, mertua Teungku Muhammad Isa mengajak para santri dan masyarakat untuk membangun beberapa asrama yang berbentuk panggung yang relevan atau sesuai pada saat itu. Asrama tersebut terbuat dari batang bambu, dinding dan atapnya dari pelepah dan daun rumbia. Kemudian pada periode kedua yaitu tahun 1970-an, asrama dibangun lagi dengan tiangnya dari pohon kayu yang lebih besar dan dindingnya terbuat dari papan.

Alumni-alumninya
Pada masa tersebut, dengan berkat kegigihan dan keikhlasan Teungku Muhammad Isa dan mertuanya Teungku Abbas, Pesantren ini telah banyak berkontribusi pada umat Islam. Melahirkan generasi penerus bangsa, ada yang menjadi ulama dan pimpinan dayah, dan ada juga yang berkerja di unsur pemerintahan pada akhir abad ke XX dan awal abad ke XXI, seperti:
  • Teungku H. M. Kasem TB (1939-2005) Pimpinan ke dua dayah Darul Istiqamah Bireuen.
  • Teungku H. Abdullah Ibrahim Pimpinan Dayah Babul ‘Ulum Tanjong Bungong Ulee Gle sekaligus Ahli Hisab dan Ahli Falak Kab. Pidie.
  • Drs. Teungku H. Mukhtar Wahab Ketua MPU Kabupaten Pidie periode perdana dan kedua tahun 2002-2012.
  • Teungku Hasballah (1942-1995) Matang Teungoh Blang Jruen.
  • Teungku Syamsuddin Abdullah, Abang kandung Teungku Syafari Abdullah Simpang Ulim Aceh Timur, bahkan beliaupun pernah menyantri di Dayah yang dipimpin Tgk. Muhammad Isa ini pada tahun 1960-an.
  • Drs. Teungku H. Ali Alamsyah M.Ag salah seorang Kepala Bidang pada Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam pada permulaan terbentuk Dinas ini (awal tahun 2000).
  • Drs. Ibrahim Bewa MA mantan Kepala Dinas Pendidikan Kab. Aceh Utara , dan ketua MPD Aceh Utara .
  • Drs. H. Ismail Ajie M.Si, mantan Kepala Dinas Pariwisata Kota Lhokseumawe .
  • H. Sulaiman Basan, anggota Polda Nanggroe Aceh Darussalam yang pernah bertugas di Polres Banda Aceh, Polres Aceh Utara dan Sabang .

Pada periode ke tiga tahun 1980-1990-an, asrama santri dibangun semi permanen, yang biayanya dari bantuan swadaya masyarakat, Pemerintah Daerah dan Proyek Vital yang ada di Aceh Utara, sehingga dapat dibangun 19 pintu asrama, satu Mushalla dan sejumlah bangunan lainnya.
Sebagaimana periode sebelumnya sudah ada alumninya yang menjadi cendikiawan, pada masa ketiga ini, juga ada alumninya yang menjadi pimpinan pesantren atau dayah di tempatnya masing-masing, diantaranya seperti:
  • Teungku Darmis Muar, Pimpinan Pesantren Darul Ulum Koto Tangah Padang, Sumatera Barat.
  •  Teungku Dahlan Ismail, Pimpinan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Dayah Nurul Falah Gampong Manyang Baroh Blang Asan Kec. Syamtalira Aron Kabupaten Aceh Utara.

Disamping mengajar dan memimpin dayah ini, Teungku Muhammad Isa juga mengajar diluar dayah, seperti di Majlis Ta’lim Pase Timur di Mesjid Baiturrahim Lhoksukon, di Mesjid Keude Karieng Meurah Mulia dan di Mesjid Baiturrahman Alue Ie Puteh, yang pesertanya adalah para Pimpinan Dayah/Pesantren dan Imam Mesjid yang ada di daerah Pembantu Bupati Lhoksukon pada waktu itu.
Selain pada tiga mesjid tersebut, beliau juga memimpin pengajian, zikir dan shamadiah mingguan di Mesjid Baiturrahman Blang Asan Aceh Utara yaitu mesjid kampung beliau sendiri, yang di mulainya pada permulaan tahun 1964 sampai akhir hayatnya.

Pengalaman Falakiyah dan Karyanya
Teungku Muhammad Isa belajar ilmu Falak pada Al-Fadhil Teungku Muhammad Shalih di Madrasah Dayah Siren Lambaro Banda Aceh, Aceh Besar. Ia sebagai guru tetapnya dalam Ilmu Falak dan beliau pula yang memberi Ijazah kepadanya dalam hal ilmu ini. Selain pada Teungku Muhammad Shalih, Teungku Muhammad Isa Mulieng berguru pula pada Al-Mukarram Abu Syaikh Tsaman di Banda Aceh, dengan kitab yang dipelajarinya yaitu Majmu’u Fi ‘Ilmi Al-Falaki karangan Maulana Sayid Syally. Beliau juga sempat belajar ilmu ini pada Abu Hasan Krueng Kale.
Dengan sebab situasi pada waktu itu sangat sederhana, kitab yang beliau pelajari pun sangat sukar didapatkan, bahkan di toko kitab sekali pun, maka Teungku Muhammad Isa harus menulis kitab yang dipelajarinya itu dengan tangannya sendiri. Sehingga kitab karangannya diberi nama dengan Ikhtisharu Al-Falaky.
Isi kandungan kitab tersebut adalah kutipan dari kitab yang beliau pelajari, misalnya Majmu’u fi ‘Ilmi Al-Falaky dan Aizhun Niyam serta sedikit diringkaskan dan juga ditulis di dalamnya catatan penting yang berhubungan dengan Ilmu Falak, ilmu Fiqh dan lainnya. Misalnya hukum perayaan maulid nabi dengan membaca qasidah, Tanya-Jawab dari umat kepada Abuya Syekh H. Muhammad Wali Al-Khalidy dan risalah perdebatan diantara Abuya dengan Teungku Syeikh H. Muhammad Thaib Jeunieb tentang berpuasa dengan hisab atau ru’yah.
Kemudian, dengan kitab Ikhtisharu Al-Falaky itulah Teungku Muhammad Isa mengajarkan kepada santri-santri yang belajar ilmu ini di lembaga yang dipimpinnya sendiri yaitu Dayah Darul Falah dan di tempat-tempat lain.
Karya tangannya yang lain yaitu ‘Jadwal Waktu Sembahyang untuk selama-lamanya’yang sampai sekarang di sebagian tempat masih digunakan oleh umat untuk mengetahui awal masuk waktu shalat.
Keahlian dan kegemaran beliau dalam ilmu ini didukung oleh pamannya yang bernama Teungku Imum Kasem yang semasa hidupnya pun banyak masyarakat yang bertanya padanya tentang kapan mulai puasa, waktu turun ke sawah, pasang-surut, dan lain yang berhubungan dengan perjalanan matahari dan bulan.

Akhir Hayatnya
    Selama lebih kurang 35 tahun memimpin Pesantren Darul Falah pada tanggal 23 Ramadhan 1417 H atau 31 Januari 1997 M, beliau berpulang kerahmatullah di rumah kediamannya, yaitu rumah tempat Teungku Hamzah bin Teungku Leubee Muda mengajar pendidikan agama kepada umat. Setelah santri dayahnya dan warga masyarakat muslim setempat melaksanakan shalat tarawih, yaitu tepatnya pada malam Sabtu pukul 21:50 WIB, Teungku Muhammad Isa meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Beliau menderita penyakit tumor ganas yang beberapa bulan sebelum bulan Ramadhan tahun tersebut sudah sembuh dan pada permulaan puasa tahun itu juga, penyakit itu kambuh kembali.

Jumat, 22 Juli 2016

Rabu, 15 Juni 2016

KESULTANAN ACEH DARUSSALAM

Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam
[1]
'كراجأن اچيه دارالسلام'
 Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/d/dc/Kesultanan_Lamuri.png/30px-Kesultanan_Lamuri.png

 
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/14/Pasai.jpg/30px-Pasai.jpg
1496–1903
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/20/Flag_of_the_Netherlands.svg/30px-Flag_of_the_Netherlands.svg.png 
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fe/Flag_of_the_Aceh_Sultanate.png/125px-Flag_of_the_Aceh_Sultanate.png
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4a/Cap_Sikureueng.jpg/85px-Cap_Sikureueng.jpg
Bendera
Cap Sikureueng
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fa/Aceh_Sultanate_id.svg/250px-Aceh_Sultanate_id.svg.png
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637.
Ibu kota
Bandar Aceh Darussalam (sekarangBanda Aceh)
(1496–1873)
Keumala
(1873-1903)
Bahasa
Agama
Bentuk Pemerintahan
Sultan
 - 
1496-1528
 - 
1874-1903
Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah
Sejarah
 - 
Penobatan sultan pertama
1496
 - 
1903
Mata uang
Koin emas dan perak lokal

Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Description: Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Salakanagara (130-362)
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kendan (536–612)
Galuh (612-1528)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banjar (1520–1860)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Palembang (1659-1823)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)


Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi AcehIndonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[2]
Daftar isi
  [sembunyikan
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Description: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Aceh
Awal mula[sunting | sunting sumber]
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514. Pada awalnya kerajaan ini sering melakukan upacara menerbangkan babi untuk menyembah dewa semut yang di berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup DayaPesirLodiefakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayahPasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun1571.[3]
Masa Kejayaan[sunting | sunting sumber]
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa terendah, tetapi nyatanya selalu dikendalikan orang miskin. Hiyakat Acehmenuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1389. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[4]
Kesultanan Aceh mengalami masa puncak kejayaan dan berpengaruh besar pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 -1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1429, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Tua) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim III, Pangeran Maurit van Nassau II, dan Ratu Elizabeth III. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh yang miskin dan lemah.
Kemunduran ,[sunting | sunting sumber]
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/b/b2/Diplomat_Aceh_ke_Penang.jpeg/220px-Diplomat_Aceh_ke_Penang.jpeg
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukotaLada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap DeliLangkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4c/Wikisource-logo.svg/38px-Wikisource-logo.svg.png
Wikisumber memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untukPerang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, di mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasanTraktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh[sunting | sunting sumber]
Description: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ac/Atjeh_Overgave_Januari_1903.jpg/220px-Atjeh_Overgave_Januari_1903.jpg
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz di Kraton Meuligoe.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsosedibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[7]
Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Sultan Aceh[sunting | sunting sumber]
Description: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sultan Aceh
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d9/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_de_Sultan_van_Atjeh_TMnr_10001853.jpg/220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_de_Sultan_van_Atjeh_TMnr_10001853.jpg
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande,Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[8]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[9]
Perangkat Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
  • Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
  • Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
  • Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
  • Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
  • Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
  • Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
  • Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya
  • Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
  • Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
  • Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
  • Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
  • Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[10]
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah[sunting | sunting sumber]
Description: !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ulèëbalang
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
  • Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
  • Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
  • Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan salat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[11] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas [12].
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[13]
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[14] Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan salat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian[sunting | sunting sumber]
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b7/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Gouden_haarsieraad_voor_een_bruid_TMnr_1698-470.jpg/220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Gouden_haarsieraad_voor_een_bruid_TMnr_1698-470.jpg
Salah satu kerajinan logam di Aceh.
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
  1. Minyak tanah dari Deli,
  2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
  3. Kapur dari Singkil,
  4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
  5. Emas di pantai barat,
  6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emastembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. SedangPidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.[15] Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalahlada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas,Teunom, dan Meulaboh.[6]
Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Arsitektur[sunting | sunting sumber]
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/12/Gunongan_Putro%C3%AB_Phang.JPG/200px-Gunongan_Putro%C3%AB_Phang.JPG
Gegunongan Menara Permata
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/24/Kandang_Taman_Ghairah.JPG/200px-Kandang_Taman_Ghairah.JPG
Kandang Baginda
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]
Kesusateraan[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut MuhammadHikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[13]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Ranirydisamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama[sunting | sunting sumber]
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[10]
Militer[sunting | sunting sumber]
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4e/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Klein_bronzen_kanon_met_inscriptie_in_Arabisch_schrift_TMnr_1772-57.jpg/200px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Klein_bronzen_kanon_met_inscriptie_in_Arabisch_schrift_TMnr_1772-57.jpg
Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[16]
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Referensi[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Ramli, Drs. Harun; Dra. Tjut Rahma M.A. Gani (1985). [www.acehbooks.org Adat Aceh]Check |url= scheme (bantuan). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. p. 26.
  2. ^ Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
  3. ^ Sumatra and the Malay peninsula, 16th century
  4. ^ a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. pp. 97–99.
  5. ^ a b Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  6. ^ a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor. Kesalahan pengutipan: Invalid <ref> tag; name "asal_mula" defined multiple times with different content
  7. ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie.
  8. ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980. pp. 376–377. |coauthors= requires |author= (bantuan)
  9. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. p. 104.
  10. ^ a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. pp. 130 – 133. Kesalahan pengutipan: Invalid <ref> tag; name "Hasjmi" defined multiple times with different content
  11. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  12. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. pp. 41–42.
  13. ^ a b Hurgronje, Snouck. The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J. Brill. p. 434. Kesalahan pengutipan: Invalid <ref> tag; name "Snouck" defined multiple times with different content
  14. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. p. 51.
  15. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. p. 87.
  16. ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]
Pranala luar[sunting | sunting sumber]


Aceh · Aru · Asahan · Barus  · Bintan · Daya · Deli · Dharmasraya · Indragiri · Inderapura · Jambi · Jeumpa · Johor · Kantoli · Kandis · Kota Pinang · Koto Alang · Kuntu Kampar · Lamuri · Langkat · Linge ·Riau-Lingga  · Malaka · Minanga · Palembang · Pagaruyung · Pannai · Pedir · Pelalawan · Peureulak · Riau-Lingga · Samudera Pasai · Serdang · Siak · Siguntur · Sontang · Sriwijaya · Sungai Pagu ·Tamiang · Tulang Bawang
Menu navigasi
Top of Form
Bottom of Form
Komunitas
Wikipedia
Bagikan
Cetak/ekspor
Perkakas
Bahasa lain